Deretan Permainan Blockbuster Eksklusif Epic Games Store | Hybrid

Posting Komentar
Benarkah ada masalah regenerasi esports? Apa saja penyebabnya? Apa yang bisa kita lakukan sebagai sebuah ekosistem?
Di balik hingar bingarnya teriakan para pendukung fanatik, gemerlap lampu panggung, serta ratusan juta atau bahkan miliaran Rupiah total hadiah dan anggaran event; buat yang peduli dengan ekosistem esports, ada sebuah kegetiran yang harus dihadapi. Perkara regenerasi para pemain profesional di esports menjadi sebuah kekhawatiran nyata yang harus dicoba diselesaikan bersama.
Imbas dari impotensi regenerasi tadi tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Sejarah bulu tangkis Indonesia jadi catatan perjalanan salah satu efek buruk tadi. Dulu, kita punya Rudi Hartono yang pernah menang 7 kali kejuaraan All-England berturut-turut. Ada juga Susi Susanti, sang srikandi yang legendanya bisa jadi abadi. Sekarang…?
Selain itu, sebaliknya, regenerasi yang baik juga bisa jadi langkah progresif untuk mengukir prestasi. Ekosistem sepak bola kita yang mungkin bisa dibilang lebih baik dalam hal regenerasi (setidaknya dibanding bulu tangkis tadi) berhasil mencetak pemain-pemain muda baru berbakat. Terbukti, timnas sepak bola U19 dan U23 Indonesia justru bisa meraih prestasi yang sedikit lebih baik ketimbang para seniornya.
Regenerasi yang ideal di esports Indonesia juga saya percaya bisa menghantarkan prestasi tanah air kita ke arah yang lebih cerah.


Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport
Meski begitu, mungkin memang ada yang tak percaya bahwa ekosistem esports Indonesia punya kekhawatiran soal regenerasi tadi atau bahkan mungkin merasa masalah itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Untuk itulah, saya mengajak berbincang Yohannes P. Siagian yang merupakan Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports. Bersamanya, kita akan mencoba mengupas tentang permasalahan regenerasi, dari abstraksi sampai solusi.
Sebelumnya, mungkin saya perlu menyebutkan singkat pengalaman beliau sebagai sebuah justifikasi pilihan saya menjadikannya narasumber soal ini. Awalnya, ia diberi mandat untuk menjadi Kepala Pengembangan untuk Program Olahraga di SMA 1 PSKD. Seiring waktu, Joey (panggilannya) pun naik ‘kasta’ jadi Kepala Sekolah di SMA yang sama. Sampai artikel ini ditulis, ia sudah mengantongi jam terbang sepuluh tahun sebagai kepala sekolah. 3-4 tahun terakhir, ia juga menjabat sebagai Head of Esports Program di sekolah tadi. Sekarang (saat wawancara kami), ia juga memegang peran ganda sebagai Vice President untuk salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia, EVOS Esports. Di bulan Mei 2019, ia akan mundur dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah untuk full-time di EVOS.

Ekosistem Esports Indonesia yang Terlalu Cepat Matang

Yohannes setuju dengan saya bahwa memang ada sebuah problematika soal regenerasi pemain. Dari pengalamannya sendiri, ia melihat ada 2 permasalahan regenerasi pemain. Pertama, memang ada beberapa game yang kesulitan cari talenta baru. Namun di sisi lain, ada beberapa game yang kesulitan cari pemain baru dengan mentalitas yang benar.
“Untuk game mobile, ada banyak talent baru tapi masalahnya udah ada di mentalitasnya. Di level pro pun ada kendala. Di cabang lain, Dota 2 misalnya, hampir tidak kelihatan. Kalaupun ada, sangat susah untuk mencarinya.” Jelas Kepala Sekolah pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, Perancis ini.
Riefqi
Saya adalah salah satu mahasiswa yang ingin berbagi ilmu seputar pemrograman dan saya harap bisa bermanfaat amin

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar

Kontributor

Riefqi
Saya adalah salah satu mahasiswa yang ingin berbagi ilmu seputar pemrograman dan saya harap bisa bermanfaat amin

Popular Posts

Subscribe Our Newsletter